Jum'at, 24 Juli 2020 17:17:39
Apakah kamu merasa lebih sering marah dan meneriaki anak selama pandemi Covid-19 ini? Jika ya, tenang, kamu tidak sendirian.
Dr
Lim Boon Leng, mengatakan, ketika keluarga terjebak di rumah selama
pandemi Covid-19, dia telah mendengar laporan banyak sekali orangtua
yang menjadi lebih sering marah dan frustrasi dengan anak-anak mereka
saat terjebak di rumah. “
Orangtua biasanya merasa sangat bersalah
ketika kehilangan kontrol. Namun demikian, saya belum pernah menemukan
kasus yang terlalu ‘lepas kendali’, ”kata Dr Lim di Pusat Kesehatan
Psikologis Dr. BL Lim.
Hal senada diungkap oleh Theresa Pong,
penasihat utama Focus on the Family, Singapura, bahwa tinggal di rumah
selama berbulan-bulan telah meningkatkan stres orangtua dalam berbagai
aspek.
Mulai dari cabin fever yang entah kapan akan berakhir,
hingga mengelola anak-anak sendirian sambil memenuhi komitmen pekerjaan,
dipaksa untuk bekerja lebih dekat dengan pasangan mereka, dan belum
lagi kekhawatiran tentang keuangan, kesehatan, dan gaya hidup keluarga.
Sementara
di sisi lain, orangtua sebenarnya memiliki harapan tinggi tentang
bagaimana mereka ingin menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka selama
masa karantina.
Sehingga, mereka berjuang menyeimbangkan bekerja dari rumah dan merawat anak-anak mereka.
“Seiring
dengan garis batas antara pekerjaan dan keluarga yang makin tak
terlihat jelas, bertambahnya tekanan dapat mengakibatkan kekecewaan dan
bahkan kebencian, yang kemudian menyebabkan mereka kehilangan regulasi
emosional", kata Theresa.
Ibu ternyata lebih stres daripada ayah
Meskipun
hal ini dapat terjadi pada ibu dan ayah, Ibu lebih rentan terhadap
stress, karena mereka cenderung menjadi pengasuh utama, jelas Christine
Wong, pendiri dan pelatih kepala psikotrauma di Rhemaworks
International, Singapura.
Fokus pada survei Keluarga terhadap 1.076 ibu di bulan Maret dan bulan April lalu membuktikan hal ini.
Enam
puluh persen ibu yang disurvei oleh badan amal setempat, menilai
tingkat stres mereka adalah 7 dari 10. Ini adalah peningkatan yang nyata
dari 52 persen dalam survei tahun lalu.
Laporan tersebut
mencatat, para ibu juga berisiko terhadap kesehatan emosi dan mental
yang buruk, karena lebih dari 6 dari 10 responden tidur kurag dari enam
jam.
Wong mengatakan, orangtua harus mewaspadai ‘bendera merah
emosional’, di antaranya menetapkan terlalu banyak aturan dan emosi
ketika anak tidak mematuhinya, terlalu mengontrol dan menggunakan metode
seperti berteriak dan memukul, serta menyalahkan anak atas kelakuan
buruk.
"Yang benar adalah, itu bukan kesalahan anak. Mereka
hanyalah anak kecil. Kita semua tahu ini. Namun kita secara tidak sadar
mengharapkan mereka memiliki kapasitas intelektual dan perilaku orang
dewasa," katanya.
Masalahnya lanjut Wong, orangtua dapat
menimbulkan trauma emosional yang tidak disadari ketika mereka menyebut
nama anak-anak, kemudian menyebut mereka nakal atau bodoh, atau membuat
mereka merasa bersalah.
“Seiring waktu, trauma tersebut terus
tertanam dalam sistem kepercayaan diri anak. Ketika mereka menjadi ibu
atau ayah kelak, mereka akan mengulangi pola perilaku negatif orangtua
mereka, dan itu menjadi lingkaran setan,” jelas Wong.
Bagaimana stress orangtua berpengaruh pada anak
Lim
menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, anak-anak yang mengalami
kekerasan emosional dapat semakin melekat pada orangtua mereka, takut
bahwa mereka akan ditinggalkan. Mereka juga dapat bertindak lebih.
"Dalam
jangka panjang, jika kekerasan emosional terus berlanjut, anak
kemungkinan tumbuh dengan harga diri yang rendah, kecemasan, depresi,
dan gangguan kepribadian," katanya.
Pong menambahkan, bahwa
meskipun banyak anak yang tangguh dan dapat mengatasi kesulitan, ini
seharusnya tidak menjadi alasan bagi orangtua untuk menormalkan apa yang
berpotensi menjadi kekerasan emosional.
“Sebagai gantinya, kita
dapat mengubah 'momen pengasuhan yang gagal' menjadi momen yang dapat
dipelajari untuk anak-anak kita dan diri kita sendiri,” dia menjelaskan.
“Itu
dimulai dengan orang dewasa yang mengakui bagaimana mereka lepas
control atau bereaksi berlebihan, meminta maaf kepada anak mereka atas
reaksi / perilaku yang tidak seharusnya, dan bersama anak menentukan
cara yang lebih baik untuk mengatasi stres, ketegangan, atau perilaku
buruk bersama ketika itu terjadi kemudian," pungkas Pong.
*Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar